Dear Jane - Satu (Dalam Dirimu)


Malam sedang gembira saat kita duduk-duduk di atas cahaya. pada wajahmu ada merah yang membelah bulan, dan senyum yang mengikat malam jadi terang. Sementara beberapa bintang tak ingin ketinggalan untuk naik pelan-pelan, menyalakan matamu yang pernah padam oleh kematian. 

Jane.

Bumi selalu berputar terbalik ketika tetesan hujan itu menerbangkanku padamu. Aliran sungai yang terpecah, merubah dirinya jadi bulir sepi, lalu terbang terbalik di antara udara yang dingin, mengeraskan pijakan pada awan yang kembali hitam.

Dan angka-angka pada jam tangan semakin ingin pulang ketika petir-petir bergemuruh riang, tertawa pada waktu yang masih saja diam-diam ingin memisahkan.

Percuma. Sia-sia.

Atas nama sekian ujian, kita tak pernah benar-benar terpisah. Diselingi riak samudera, kita mengudara senantiasa. Berjarak kemajuan alam raya, perasaan ini tak kunjung ikut menua, maka benarlah manusia-manusia yang bertanya pada waktu: bagaimana caranya berpisah di saat, yang sebenarnya terjadi, waktu sendiri tak pernah mampu untuk menghendaki? Hanya rasa ingin yang berujung pada omong kosong di malam hari.

Bersedihlah waktu. Salah satu perannya hanya jadi batu persembunyian manusia bumi. Menyeolahkannya sebagai biang keladi. Padahal manusia hanya kehabisan alasan. Padahal manusia telah kalah lelah oleh toleransi perubahan. Padahal, atas izin Tuhan, justru manusialah yang jadi penyebab perpisahan!

Jane,

Kita memang hidup di dunia tanpa waktu, dan sejujurnya, jangan pernah bertanya lagi pada luka yang ada di sudut keabadian kita. Biarkan saja. Itu hanya memar yang sempat dihajar oleh pertanyaan orang-orang. Mau sampai kapan?

Jangan dipikirkan. Tidak perlu dicari jawabannya. Tidak penting. Aku masih ingin bersamamu, masih ada hasrat yang belum kita selesaikan. Belum. Selalu belum, dan malam ini akan kuceritakan padamu bagaimana mustahilnya menghapus kata belum itu.

***

Dalam dirimu.

Ada naskah rahasia kekuatan. Ditiup angin belantara, tiap lembarannya berbunyi kebesaran jagat raya. Aku tak sempat membaca semuanya. Terlalu banyak, terlalu cepat, dan sampai sekarang aku ingin berlama-lama menerka. Aku masih ingin tahu rahasiamu, aku ingin sekuat dirimu. Aku akan selalu mencari, sambil sesekali menafsirkan penderitaan pada wajahmu, pada tiap-tiap senyuman yang dahulu berhasil menipuku.

Kamu tahu, aku telah masuk ke dalam dirimu. Berkali-kali. Apa kamu merasakan langkah kaki di sana? Apa kamu menyadari suara yang hilang karena berlelah-lelah? Ketahuilah, rahasiamu sulit kutemui kehadirannya. Di sana, hanya ada naskah-naskah lain yang berjajar di dinding hatimu. Sangat banyak, dan ada satu yang sempat mengalihkanku, sampulnya begitu indah dengan latar abu-abu, lengkap dengan simbol hati berwarna merah darah. Aku sempat membaca, isinya bercerita tentang dua anak muda yang saling jatuh cinta. Setiap kalimat, setiap paragraf, setiap halaman, hanya ada rayuan, hanya ada angan-angan, hanya ada kesoktahuan tentang masa depan. Sampah! Aku hanya sekali membacanya, aku tak kuat ingin muntah.

Dengan goyah, aku kembali melangkah di lorong-lorong buku tentangmu. Mencari ke sana ke mari. Lagi. Tetap tak ada. Hampa. Entah sudut mana lagi yang harus kutelusuri, naskah itu seperti menjauh. Terlalu jauh.

Tapi aku tak menyerah, Jane,

Tepat dua tahun berikutnya, kaki mengantarkanku pada meja belajar kayu. Di sampingnya, ada lemari dengan pintu yang sedikit terbuka, tapi saat aku mendekat, mendadak muncul satu penjaga dari belakang meja. Dia memakai setelan muram yang serba hitam, tangan kanannya menggenggam pisau yang berkilauan karena tajam, tangan kirinya mengepal keras seolah sedang menahan risau yang memutar balik kenangan. Air matanya yang mempertegas itu semua. 

"Jangan mendekat!"

Tetapi tidak. Aku tak boleh takut. Mataku langsung menyala-nyala, menyorotkan cahaya pada kegelapan tubuhnya. Sial! Wajah itu! Aku...

Itu aku, Jane! Itu aku yang hidup di masa lalu! Belum ada kerutan pada wajah yang seharusnya ceria. Pelan-pelan dia mendekat. Satu-dua langkah. Apa ini? Dadaku sesak. Sakit! Apa maksudnya? Tangan kanan itu terayun. Jangan!

Tubuhku gemetar. Kuda-kuda jadi lemas. Tolong! HENTIKAN! TETAPI TIDAK! Sekali lagi tidak. Aku tak boleh lari. Aku tak ingin dikejar masa laluku sendiri!

"KRING!"

Ah, syukurlah. Langkahnya ditahan oleh rantai yang terhubung pada kaki-kaki meja. Tapi... tangannya mengambil ancang-ancang! Dan terbanglah pisau itu menuju jantungku, menembus kehidupanku!

SSST!

Jane.

Aku memejam sesaat, kemudian melirik sedikit. Apa? Tubuhku tak berdarah! Pisau itu tak melukai apa-apa. Seperti bayangan yang menembus begitu saja, tapi entah siapa yang jadi nyata, aku atau dia. Entah. Aku tak mau tahu lagi.

Tubuhku langsung berbalik. Mencari pisau yang tadi terbang. Itu dia! Warnanya sangat kontras dengan lantai putih ketulus-tulusan. Aku mengambilnya, lalu berlari mendekat, melompat, dan langsung menikamnya. Sia-sia! Pisau dan harapan itu menembus tubuhnya seperti bayangan. Dia tak terluka, sama seperti aku. Dia benar-benar aku! 

Lagi, aku mencobanya berkali-kali. Tak mau berhenti menikamnya dari depan dan belakang. Percuma.

Dengan nafas mendengus, aku bersiasat dalam diam. Diam-diam aku meloncat ke atas meja, dan langsung merengkuh ke dalam lemari. Aku meraba-raba naskah rahasiamu yang sekian tahun kucari. Benar! Sampulnya sama. Berhasil!

Dia membentak. Matanya terbelalak. Kakinya menendang meja dan membuatku tersungkur. Kepalaku terbentur. Sakit! Tetapi tunggu... Dia ikut memegang kepalanya sendiri. Dia juga merasakan sakit. Dia benar-benar aku!

Tanpa berpikir, aku langsung membenturkan lagi kepala pada apa-apa saja yang ada. Dia merintih pilu. Semakin lama, semakin kencang. Aku tak peduli, sedikit lagi aku akan mengalahkannya, dan entah kenapa, aku ingin mengayunkan pisau ke arahku sendiri seolah tak ada pilihan lain lagi. Segera aku ambil pisau, secepat yang aku bisa.

JLEB!

Mataku melotot. Aku menikam diriku sendiri tepat di bagian perut! Sakit! Pelan-pelan, aku mengeretnya sampai tulang rusuk. AH! Saat kulirik sedikit, dia tergeletak menahan sakit. Apa masih kurang? Baik! Tanpa aba-aba, aku langsung menusuk jantungku, memecah kehidupanku.

Lamat-lamat dia memudar laksana debu yang berterbangan ditiup angin. Terhapus. 

Tetapi ini menyakitkan, Jane.

Aku memang sudah tak peduli lagi pada tiap darah yang tumpah. Aku merangkak dengan tenang, mendekati naskah rahasiamu. Aku membuka lembar demi lembar, mencari halaman pernah aku lewatkan. Barangkali, jika aku tahu kekuatanmu, maka itu bisa menyembuhkan semua lukaku. Semuanya.

Pencarianku terhenti di halaman 41.

Mulutku bergetar saat melihat namaku sendiri sebagai kekuatanmu. Sedalam itukah perasaanmu? Mendadak rahasia itu menerbangkanku pada tingginya penyesalan, yang jika  dihitung jaraknya dengan akal sehat, maka akan kamu temui ribuan mil jauhnya, dan ketika aku mendarat, kakiku sudah terbelenggu rantai-rantai meja, mencegahku untuk terbang kembali di antara kecewa. 

Sementara itu luka tikaman yang ternganga mulai memadamkan mata. Aku ingin beristirahat. Sebentar saja. Aku lelah.

Jane.

Aku terbangun saat seseorang masuk ke dalam dirimu, suara langkahnya pelan tapi meyakinkan. Aku segera duduk, memeriksa jam tangan yang ternyata sudah mati, memeriksa semua luka yang ternyata sudah tak ada. Aku meraba-raba lagi pada bekas luka dengan tangan kanan yang masih memegang pisau. Semua seperti sedia kala. Aku kuat. Berhasil!

Sembunyi-sembunyi, langkah kaki orang itu mendekat. Semakin lama, semakin jelas. Aku berdiri untuk melihat, tapi apa ini? Pakaianku jadi serba hitam! Jangan-jangan... Tangan kiriku langsung mengepal keras. Air mata memuncah begitu saja, dan tiba-tiba orang itu sudah sampai di depanku. Tidak mungkin! Jangan-jangan...

"Jangan mendekat! Aku mohon!"

"Aku tahu, itu aku."

Postingan populer dari blog ini

Dear Jane - Percakapan Epsilon

Kritik Film KKN di Desa Penari: Melestarikan Inferioritas Masyarakat Desa