Prasasti
Di tengah hamparan tanah tanpa batas, berdiri sebuah prasasti raksasa yang terbuat dari batu hitam. Ia menjulang tinggi di tengah kehormatan. Tak ada yang tahu sejak kapan prasasti itu ada, tapi di permukaannya terukir kata-kata yang begitu tajam, hingga setiap orang yang membacanya merasa seakan ditikam oleh sesuatu yang tak terlihat.
"Aku
telah berjanji, dan janjiku ini tak akan patah, meski dunia meremukkanku hingga
jadi debu."
Tak
ada yang tahu siapa yang menulisnya. Namun, di sekitar prasasti itu, tanah
merekah, pohon-pohon layu, dan langit berubah kelabu seakan turut
menanggung beratnya makna yang terukir di sana.
Setiap
orang yang melewatinya merasakan sesuatu yang aneh di dalam dada mereka—entah
itu ketakutan, kekaguman, atau bahkan luka lama yang tiba-tiba terasa perih
kembali. Tak ada yang cukup berani untuk berlama-lama mendekat.
Kecuali
orang itu.
Di
ujung cakrawala, terdapat satu sosok yang berjalan tanpa lelah, yang berjalan
tanpa bayangan. Bukan karena matahari tak bersinar untuknya, bukan pula karena
tubuhnya tak nyata, tetapi karena tekadnya terlalu pekat, terlalu padat, hingga
bahkan cahaya pun tak bisa menembusnya.
Napasnya
berat, kakinya berlumuran debu, tapi dia tidak pernah berhenti. Dia telah
berjalan selama entah berapa lama, melewati malam yang tak berbintang, melewati
siang yang membakar kulitnya. Tak ada satupun langkah yang tak ia tujukan pada
prasasti itu.
"Kenapa
kau terus berjalan?" tanya angin yang berbisik di sekelilingnya.
"Karena
aku harus sampai," jawabnya.
"Apa
yang kau cari di sana?" tanya hujan yang jatuh perlahan, mencoba menyentuh
luka pada tangannya.
"Aku
tidak mencari apa-apa. Aku hanya harus tetap berjalan," jawabnya lagi.
"Kau
sudah punya segalanya, kenapa kau tak menyerah?" tanya tanah yang iba pada
langkah kakinya.
Dia
hanya tersenyum, bukan karena bahagia, tetapi karena pertanyaan itu terlalu
asing baginya.
***
Saat
akhirnya dia tiba di depan prasasti, tubuhnya nyaris hancur oleh perjalanan.
Tapi dia tidak peduli. Dia berdiri tegak di hadapan ukiran itu, lalu
menyentuhnya dengan tangan yang gemetar.
Dan
tiba-tiba prasasti itu berdenyut seperti sesuatu yang hidup. Dari dalamnya,
suara bergema, suara yang seperti berasal dari dirinya sendiri.
"Apakah
kau masih akan bertahan, meski tubuhmu hampir hancur?"
"Ya."
Apakah
kau masih akan memegang sumpah ini, meski dunia ingin menjatuhkanmu?"
"Ya."
"Apakah
kau yakin, meski dunia akan menyalahpahamimu?
"Ya."
Prasasti
itu bergetar, tapi tidak runtuh. Semakin pria itu diragukan, semakin tidak ada
yang bisa merobohkan.
Di kejauhan, ada suara-suara yang memanggilnya. Orang-orang yang dulu dia kenal, yang selama ratusan tahun selalu dia lindungi dalam diam, mereka menginginkan penjelasan, tapi dia tak menoleh.
Karena dia sudah membuat janji.
Dan
dia adalah bagian dari prasasti itu sendiri.