Dear Jane - Manusia Tanpa Kepala


Jane, aku tidak tahu apa yang terjadi.

Seingatku tadi, aku sedang bermimpi mengunjungi kafe yang penuh akan keindahan, dinding-dindingnya terdiri dari pemandangan cahaya kota, lampu-lampu kuningnya berbaris menyenangkan di atas kepala, sekali, dua kali, berkali-kali mengerlip menggoda, seolah mengajak jatuh cinta pada siapa saja yang tiba. Lalu aku duduk di tepian, memilih menu dan mengamati sekitar. Aku melihat banyak muda-mudi yang berpura-pura menikmati, lalu mereka mendadak jadi dirinya sendiri ketika riuh ber-selfie.

Tetapi tidak semua, ada juga beberapa meja lain yang tahu cara menikmati keindahan selain keindahan dirinya sendiri. Ponsel mati, mata sayu, dan suara sendu menjadi tanda betapa tenangnya mereka malam ini... atau mungkin betapa lelahnya mereka di kehidupan ini.

"Mas, pesan apa?" Tiba-tiba pelayan menginterupsi pikiranku.

"Double espresso, dan tiga keping kue kering."

Pelayan itu tersenyum dan pergi. Senyuman yang cenderung bersimpati, senyuman yang mengandung pertanyaan dan waktu. Mungkin dalam benaknya ada keheranan, bagaimana bisa di tempat seindah ini, ada orang yang lebih memilih untuk berkunjung sendiri.

Aku tak peduli.

Aku kembali pada cahaya dan pikiranku. Meskipun dalam mimpi, pemandangan kota seperti ini memang tak bisa dinikmati setiap hari. Aku harus pergi menjauhi gedung-gedung tinggi, melintasi perbukitan yang jaraknya tak dekat. Semakin lama, semakin jauh, justru rasanya semakin erat. Lalu aku mulai sibuk mengambil titik-titik cahaya lampu kota, merubahnya menjadi simpul yang patah-patah membentuk senyumanmu, dan senyuman itu pula yang pelan-pelan memudarkan pandanganku.

Mendadak semua terasa gelap. Amat gelap.

***

Aku terbangun dalam keadaan duduk bersila di sebuah taman, tepatnya di bawah pohon kamboja besar dengan lengan yang menyandar ke belakang. Aku mengamati sekitar dan mendapati keanehan pada kenyataan. Warna-warna sirna serta beberapa orang berjalan tanpa kepala. 

Jane.

Aku hampir lenyap dimakan pertanyaan, tapi beruntungnya kamu segera berlari menghampiri. Aku pun tak yakin dengan apa yang kamu kenakan, kemejamu terlihat seperti putih, rasanya abu-abu, aku tak yakin. Begitupula dengan rok dan sepatu, aku pikir itu abu-abu. Ya... mungkin saja itu abu-abu. Aku benar-benar berkutat pada kemungkinan yang paling mungkin, tapi satu yang pasti, dan akan selalu pasti, kamu terlihat cantik dengan setelan putih abu-abu itu.

"Mataku yang rusak atau memang dunia tak lagi berwarna, Jane?"

Kamu hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu, lalu duduk tepat di samping kiriku. 

"Kenapa orang-orang itu tak memiliki kepala, Jane?"

Lagi, kamu tak menjawab apa-apa. Tak sedikitpun. 

"Barangkali kelak, aku akan mengerti. Iya, kan?"

Kali ini kamu berdiri, berjalan pelan membelakangi.

"Mau ke mana, Jane?"

Aku segera berdiri dan mengikuti dari belakang dengan lebih banyak pertanyaan yang tertahan. Memang benar, realitas bisa jauh lebih membingungkan ketimbang bermimpi duduk di sebuah kafe. Realitas bisa memberi seribu pertanyaan, dan waktu yang selalu dianggap bertanggung jawab untuk menuntaskan rasa heran.

"Jane..."

Kamu menoleh dengan pandangan yang amat dalam.

Seharusnya pandangan itu tercatat dalam sejarah dunia, bahwa ada yang lebih tak bisa dijangkau selain dalamnya lautan, bahwa ada yang lebih membingungkan selain meneliti kehidupan makhluk bintang. Aku hanya menarik satu kesimpulan: diam. Meskipun sejujurnya, pertanyaanku semakin memberontak ingin dikeluarkan saat orang-orang tanpa kepala berjajar melihat kita berjalan. Tangan mereka bertepuk tangan. 

"APA YANG KALIAN LIHAT?" Aku membentak lalu melirikmu.

Jari telunjukmu mengarah pada kerumunan orang-orang.

Aku amati dengan lebih tajam, dan dengan lebih meyakinkan, aku mendapati mereka berdiri berdampingan, serta memiliki jarak pada tiap-tiap pendampingan itu. Aku amati lagi secara seksama pakaian mereka. Ya, aku tahu sesuatu!

Mereka adalah pasangan-pasangan yang mungkin sedang jatuh cinta. Pada banyak kejadian, dan dalam keadaan serba ingin diperhatikan, orang-orang memang bisa lupa letak kepala mereka disimpan, atau jangan-jangan itu memang sengaja dilakukan. Tanpa kepala, tanpa pikiran. Bagaimana bisa mereka hidup hanya dengan sebatas batang lehernya saja?

Tapi aku segera kembali melihatmu, tepatnya ke arah kepalamu.

"Apa kita sama seperti mereka, Jane?"

Aku mengedip. Sepersejuta detik kemudian kamu sama seperti mereka, tanpa kepala, dan aku menggeleng tak terima. 

"Jane, jangan! Aku pikir kita akan kesulitan untuk bersama jika tanpa kepala."

Kamu berbalik, sesaat seolah saling tatap, sesaat kemudian kepalamu kembali, sesaat setelahnya aku dapat menikmati matamu yang cemerlang, yang jika dibiaskan oleh warna, mungkin itu adalah cahaya yang dahulu aku kira hanya ada di surga.

"Kamu memilih sesuatu, berarti kamu akan kehilangan sesuatu."

"Apa maksudmu, Jane?"

Udara pecah oleh semarak tepuk tangan orang-orang. Seolah kita adalah pertunjukkan, terdengar pula suara yang menertawakan sambil berceletuk ringan. 

"Lihat! Lihat pria bodoh itu ingin mempertahankan kepala pasangannya sendiri!"

Kamu mengangguk, kedipan matamu menyampaikan pesan lewat bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh sunyi.

Hatiku serentak diliputi kehampaan. Bagaimana mungkin perkataan seperti itu masuk ke dalam ruangan yang penuh penalaran tanpa harus meninggalkan perasaan, dan karena kamu menyepakati mereka, maka aku akan membuka kemungkinan, mereka bisa jadi benar bahwa ada yang salah dengan cara kita memahami hal yang selalu sungkan untuk dikatakan. Cinta. Bukankah orang-orang, saat jatuh pada hal itu, mereka akan rela berkorban demi pasangannya. Memberi hampir semua yang mereka punya. Berkorban berarti kehilangan, dan dengan kehilangan itu, mereka justru berbahagia.

Ini tak benar. Sangat tidak benar!

"Jane, bukan begitu."

Kamu mengangguk mengerti.

"Nanti saat sampai di tujuan, aku ingin menjelaskan banyak hal yang mungkin tidak akan melahirkan pertanyaan baru, Jane."

"Saat perjalanan telah selesai?"

"I... iya."

Langkah kakimu benar-benar melanjutkan perjalanan, semakin lama, semakin cepat.

Aku segera menyusul dari balik letupan dedaunan kering yang terbang bersama angin, meninggalkan jejak bersalah pada tanah kering karena tak mampu cepat-cepat menjelaskan. Sementara itu suara tepuk tangan orang-orang tanpa kepala mulai lenyap dari kejauhan. Mereka pasti kembali pada kegiatan berpasangan-pasangannya, mencari kata-kata kosong hanya demi menyenangkan satu sama lain. Padahal, mereka bisa saja berpisah kapanpun Tuhan mau, lalu menyadari betapa bodohnya mereka selama ini.

Semua itu memang sangat memungkinkan terjadi. Tuhan yang punya kuasa, manusia hanya mampu berencana membuat kemungkinan. Apalah hebatnya manusia, untuk menentukan hal yang dibutuhkan saja, manusia perlu tuntunan dan petunjuk Tuhan. Kita selalu berkutat pada keinginan yang justru menunjukkan bahwa manusia memanglah bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, hanya makhluk yang dikurung oleh pengharapan.

"Jangan risau. Mereka tidak mengerti sebagaimana aku mengerti."

"Wajar, Jane. Mereka sedang tidak memakai kepala, kan?"

"Tapi tadi aku sempat kehilangan pikiranku."

"Bagaimana rasanya, Jane?"

"Kamu semestinya tahu."

"Aku tak mengerti."

"Lehermu juga pernah terpenggal."

"Lalu apa yang selanjutnya terjadi, Jane?"

"Sesuatu yang harus terjadi."

"Apa?"

"Kamu kehilangan pikiran."

***

Kakimu berjalan melambat ketika kita memasuki wilayah perbukitan. Cahaya mulai berjingkrak malu dirayu burung-burung gereja yang menyambut peralihan sore menuju malam. Pada samping jalan, bunga-bunga ratchapruek ikut bermekaran, memberi tanda musim kering tengah menua, dan angin-angin bergemuruh riang pada apa-apa saja yang disentuhnya. 

"Aku selalu suka saat-saat seperti ini."

"Saat seperti ini, Jane?"

"Saat senja. Lain kali akan aku ceritakan padamu kenapa senja bisa berwarna merah."

"Senja? Merah?"

"Iya, mungkin ia malu menatap kita yang sama-sama sedang jatuh cinta."

"Aku tak bisa melihat warna, Jane. Semuanya abu-abu."

Kamu tertawa kecil. Sekilas menggoda keadaanku.

"Kenapa, Jane?"

Kepalamu sedikit menengadah, tubuhmu pelan-pelan mendekat. Kini giliranku yang tertawa kecil. Aku melihat pantulan keindahan langit dari matamu. Meskipun masih terkesan abu-abu, tapi aku mulai menyadari betapa indahnya saat-saat bersamamu.

"Kamu sudah mengerti?"

Aku mengangguk takjub pada keajaiban. Memang sejak dahulu, aku paling suka dengan matamu itu. Sempat pula terbesit keinginan untuk mencongkelnya secara diam-diam, lalu memajangnya di ruang tamu rumahku, biar setiap orang yang berkunjung bisa tahu kalau ada yang lebih indah selain menceritakan kisah hidupnya sendiri. 

Tapi tenang, sekarang aku tak seegois itu.

"Apa itu berarti dunia masih memiliki warna? Mataku rusak, Jane?"

"Bukan. Kamu terlalu menggantungkan semua warna hidupmu padaku."

"Apa tidak boleh?"

"Jangan menyakiti dirimu sendiri."

"Tak ada yang disakiti, Jane."

"Bagaimana dengan ini?" Kamu tersenyum sambil menggoreskan lengan pada duri dahan. Aku langsung melihat darah segar yang ke luar, darah yang seutuhnya berwarna merah.

"JANE! APA YANG KAMU LAKUKAN?"

"Menyakitimu dengan goresan luka sekecil ini."

"JANGAN GILA, JANE!"

Aku segera berlari meningalkanmu sendiri. Aku harus kembali ke kota atau berharap di perjalanan bertemu orang yang mampu mengobati lukamu. Aku bergerak secepat yang aku bisa, melompati batang pohon tumbang, menyingkap dahan yang menghalau jalan, dan tiba-tiba dari kejauhan, aku melihat sorotan lampu senter yang berjalan pelan-pelan.

"TOLONG! TOLONG!" Aku berteriak sambil mendekat. 

"Ada apa?" Orang itu mencoba menenangkanku.

"Seseorang terluka di perbukitan."

"Pacarmu?"

"Iya!"

"Oh, sudahlah, dia akan baik-baik saja." Orang itu berlalu begitu saja.

Tapi tidak! Aku mencegahnya!

"AKU MOHON!"

Orang itu hanya tertawa kecil.

"JANGAN GILA! AKU MOHON!"

"Kau ini sedang tanpa kepala." Orang itu benar-benar berlalu dengan tawa yang semakin keras.

Mataku melotot. Aku lupa, kalau aku meninggalkanmu saat kita sedang sama-sama jatuh pada hal itu, cinta, saat aku tanpa kepala, dan dalam jangka waktu terkecil, dalam segala hal yang serba epsilon, semua langsung terasa gelap.

Amat gelap.

***

"Mas, ini pesanan kopi dan kue keringnya."

Aku kembali pada mimpi burukku, mimpi tentang kehidupan yang tak lagi tanpamu.

Bandung, 4 Januari 2019.


Postingan populer dari blog ini

Dear Jane - Percakapan Epsilon

Kritik Film KKN di Desa Penari: Melestarikan Inferioritas Masyarakat Desa

Dear Jane - Satu (Dalam Dirimu)