Kritik Film KKN di Desa Penari: Melestarikan Inferioritas Masyarakat Desa


Prolog

Berbicara tentang film horor Indonesia, maka tak bisa lepas dari apa yang masyarakat percaya tentang sebuah cerita, baik meliputi latar tempat, waktu dan perasaan yang terbangun pada masing-masing pelakunya. Menurut Askurifai Baksin (dalam Membuat Flim itu Gampang, 2003), film horor Indonesia cenderung diangkat dari tradisi, adat, ritual, menampilkan keadaan yang benar-benar dialami masyarakat setempat. Ketegangan, kerisauan, kejijikan, dan berbagai ketidakmasukakalan yang disuguhkan dalam film-film horor merupakan situasi yang berkembang dalam masyarakat. Jika dicermati lebih jauh, film horor di Indonesia dapat menjadi penggambaran dari nilai dan kepercayaan suatu masyarakat, yang jika formula itu dibalik, maka film horor Indonesia dapat pula berguna sebagai pembangunan brand image (citra) suatu masyarakat dan tempat.

Citra adalah gambaran atau pemikiran banyak orang terhadap sesuatu yang identik dan diyakini kebenarannya. Menurut Sutojo (dalam Membangun Citra Perusahaan, 2004) citra dapat diukur melalui tiga indikator yaitu kesan, kepercayaan dan sikap. Ketiga indikator tersebut memiliki tingkat subjektivitas yang tinggi, sehingga pencitraan sebaiknya dilakukan secara sistematis, serentak, dan dalam skala besar. Melihat pada konteks film sebagai bagian dari media komunikasi massa, film horor Indonesia yang tersebar luas di bioskop maupun media digital dapat mengambil peranan penting dalam pembentukan kesan, kepercayaan dan sikap penontonnya.

KKN di Desa Penari

Film hantu atau istilah filmologinya disebut sebagai genre horor tak pernah sepi penonton. Ada ragam faktor penyebabnya, namun yang terkuat dikarenakan adanya kesan mudah dicerna dan terasa “dekat” dengan penonton. Hal itu dapat dibuktikan oleh film-film horor yang bercokol dalam daftar film Indonesia terlaris sepanjang masa merupakan adaptasi dari kisah nyata, atau setidaknya menggambarkan ritual-ritual yang dipercaya ada oleh masyarakat Indonesia. Dalam dunia pemasaran, terdapat sebuah prinsip yang menjadi landasan dari user generated: produk terlaris lahir dari keresahan dan rasa penasaran konsumen.

Terdapat beberapa film yang memang memenuhi prinsip dari user generated, salah satunya adalah film KKN di Desa Penari. Film ini merupakan adaptasi dari cerita dengan judul serupa yang sempat viral di media sosial. Film ini berkisah tentang sekelompok mahasiswa dari kota besar yang hendak membangun desa sebagai penerapan program Kuliah Kerja Nyata (KKN), bak pisau bermata dua, usaha dalam mewujudkan perubahan positif harus diikuti dengan kenakalan beberapa mahasiswa yang melanggar kepercayaan masyarakat desa, dan akhirnya mahasiswa tersebut mendapat hukuman yang sangat mengerikan dari jin penguasa desa. Film ini juga berhasil mendapat predikat sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa (data sampai pertengahan tahun 2023).

Sebagai adaptasi dari kisah nyata, film KKN di Desa Penari seharusnya mampu merepresentasikan konstruksi cerita berwujud audio dan visual guna membantu para penontonnya dalam memvalidasi imajinasi, setidaknya keterbatasan dalam mengonkretkan wujud cerita bisa terbantu oleh film ini. Namun setelah menonton di bioskop, saya merasa film KKN di Desa Penari tak lebih dari sekedar penggambaran sebuah desa terkutuk dengan masyarakat terbelakang dan yang merasakan efeknya adalah para pendatang. Menurut Parmentier (dalam Ludlow, 2001) representasi merupakan suatu hubungan dalam pengertian yang mewakili pengertian tertentu dan yang kedua oleh interpretasi sebuah pikiran. Sayangnya, perlakuan tafsir dan interpretasi yang disajikan dalam film terasa amat jauh dari harapan, yang bukan hanya kentara ala kadarnya, tapi juga beresiko dalam melestarikan perasaan inferior masyarakat pedesaan.

Melestarikan Inferioritas Masyarakat Desa

Inferioritas menurut Alwisol (dalam Psikologi Kepribadian, 2005) merupakan bentuk perasaan rendah diri seseorang yang menilai dirinya lebih rendah dibanding orang lain baik dalam satu atau beberapa hal. Perasaan inferior sering terjadi secara sadar maupun tidak, dan dapat menjadi pendorong dalam melakukan tindakan di luar batas, baik yang menghasilkan hal positif ataupun negatif, dan bisa juga kombinasi keduanya. Secara sederhana, perasaan inferior merupakan keadaan yang mirip dengan krisis kepercayaan diri, yang alih-alih diatasi, masyarakat Indonesia khususnya pedesaan justru sering mencampurkannya dengan konsep rendah hati sebagai akibat dari adanya kemiripan pendekatan serta menemukan adanya pembenaran, membuatnya seolah jadi pembeda sekaligus kelebihan antara masyarakat pedesaan dengan masyarakat perkotaan. Hal ini dapat dibuktikan oleh perilaku masyarakat pedesaan yang cenderung lebih menghormati dan terkesan segan ketika berinteraksi dengan masyarakat perkotaan. Jika perasaan itu dirawat, diproduksi ulang dari generasi ke generasi, maka masyarakat pedesaan tak akan berkembang dari kurungan sebagai pekerja kasar, merasa tidak mampu serta tidak pantas dalam mengambil peran yang lebih strategis, dan itu beriringan pula dengan rendahnya tingkat kesadaran pendidikan masyarakat pedesaan.

Menurut Adler (dalam Personality Theories, 1997) perasaan inferior muncul sebagai akibat dari suatu fakta ataupun opini yang berlebihan dari individu, misalnya dalam konteks masyarakat pedesaan, mereka dijejali informasi tentang kemajuan budaya luar daerah yang dianggap lebih unggul dari keadaan faktual di pedesaan, sehingga membentuk opini yang berlebihan tentang ketertinggalan sumber daya dan teknologi. Selain faktor dari masyarakat desa, terdapat pula faktor luar yang mengambil peranan penting yaitu perlakuan masyarakat perkotaan terhadap masyarakat pedesaan, dan perlakuan masyarakat perkotaan sangat bergantung pada persepsi citra yang terbentuk tentang masyarakat pedesaan itu sendiri. Menurut Kierkegaard, seorang filsuf asal Denmark, dalam mencari pemahaman dan makna, manusia selalu berpatokan pada subjektivitas. Subjektivitas dalam konteks filsafat diartikan sebagai mode yang muncul melalui interaksi yang tak terhitung banyaknya, sehingga subjektivitas sangat bergantung pada pengalaman setiap individu, dan pengalaman-pengalaman itu membentuk persepsi yang jadi landasan dari sikap atau perlakuan. Di era modern, ada banyak sekali sumber pengalaman yang dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat, dan dalam konteks ini, tentunya adalah film KKN di Desa Penari.

Sama seperti film horor yang mengangkat tema serupa, film KKN di Desa Penari membuat penggambaran lokasi desa dengan kesan yang amat mistis, seolah-olah desa hanya terdiri dari tempat angker dan bangunan-bangunan tua tanpa listrik dengan fasilitas umum yang terbengkalai. Pada adegan tertentu, beberapa bangunan terlihat terlalu dibuat-buat, misalnya saat tokoh Nur dan Widya hendak mandi di bilik mandi umum yang memiliki pintu reyot, dinding kayu berlubang, dan dipenuhi tanaman rambat serta sarang laba-laba. Menurut Sumanto Soerjono (dalam Sosiologi Satu Pengantar, 2012) masyarakat pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan perasaan batin yang kuat antar sesama warga desa, seseorang yang merasa bagian dari masyarakat mempunyai perasaan bersedia untuk berkorban setiap waktu, dan menganggap sama-sama saling dicintai, saling dihormati, dan mempunyai tanggung jawab yang sama terhadap keselamatan dan kebahagiaan bersama. Berpatokan pada kutipan di atas dan menggarisbawahi perasaan rela berkorban demi keselamatan serta kebahagiaan bersama, maka seharusnya penggambaran fasilitas umum terbengkalai yang dialami oleh Nur dan Widya tak lagi relevan untuk ditampilkan atau setidaknya dicitrakan secara lebih wajar, terlebih lagi dinding berlubang yang dipenuhi tanaman rambat dan sarang laba-laba dapat menjadi indikasi bahwa bilik mandi umum sangatlah jarang digunakan, sehingga konsekuensi dari penggambaran tersebut adalah lahirnya persepsi kebiasaan masyarakat desa yang jauh dari kebersihan.

Pembentukan persepsi tersebut diperkuat pula oleh percakapan antara para peserta KKN dengan Pak Prabu ketika berkeliling mengenalkan desa.

Anton:

Kalau mau buang hajat di mana, Pak?

Pak Prabu:

Buang hajat? Karena sungainya ga terlalu deket dari sini, warga udah biasa kalau mau buang hajat harus nyangkul tanah dulu.

Wahyu:

Waduh, nah itu aku ga biasa, Pak.

Dalam percakapan di atas, terdapat penggambaran yang sangat jelas bahwa desa tidak memiliki fasilitas kloset. Orang-orang di sana terbiasa menggali tanah untuk buang hajat. Citra yang cukup menyakitkan ini memaksa masyarakat pedesaan masuk dalam bingkai yang terbelakang, bahkan lebih parahnya lagi, primitif. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, primitif merupakan keadaan yang sangat sederhana, peradaban belum maju, terbelakang, dan kuno secara peralatan. Padahal dalam kurun waktu tahun 1800 sampai 1900-an, masyarakat pedesaan yang jauh dari sumber air atau dalam film dijelaskan sebagai sungai, terbiasa menggunakan wadah berbahan kayu atau ember berbahan timah untuk buang air kecil maupun besar, lalu membuangnya ke sungai di waktu pagi dan sore hari. Dalam bingkai sejarah, kebiasaan buang air pada wadah perlahan mulai ditinggalkan ketika pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan kloset jongkok ke seluruh wilayah jajahannya, termasuk Pulau Jawa. Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan kloset di Gedung Lawangsewu Semarang yang dibangun pada tahun 1902, dan didukung juga oleh adanya istilah jumbleng di masyarakat Jawa, menurut Muhammad Misbahuddin dan kawan-kawan (dalam Toilet dan Proses Inkulturasi Masyarakat Jawa Menjadi Masyarakat Kolonial di Surakarta Abad XX, 2021) jumbleng merupakan bilik yang terbuat dari anyaman bambu yang direkatkan satu sama lainnya dan menjadi tempat masyarakat untuk buang air besar. Jumbleng dibuat sepanjang kali-kali buatan yang terkadang di dalamnya terdapat ikan peliharaan.


Gambar. 1. Salah satu remaja desa sedang buang hajat di jumbleng pada tahun 1900.

Sumber: Tillema (dalam Kromoblanda: Over te Vraagstruk van Het Wonen in Kromo’s Grooteland (Vol II), 1915)

Keterbelakangan masyarakat pedesaan juga digambarkan dalam film KKN di Desa Penari lewat pola pikir tokoh desa yang jauh dari pemikiran rasional dan penuh kecurigaan. Hal ini dapat dilihat pada adegan Bu Sundari ketika menampung Ayu, Nur, dan Widya untuk tinggal di rumahnya dengan pembawaan yang ketus.

Pak Prabu:

Bu, titip arek-arek yo.

(Bu, titip anak-anak ya)

Bu Sundari:

Saya mboten saget nolak, kan?

(Saya tidak bisa menolak, kan?)

Menilai gestur yang ditampilkan dan percakapannya bersama Pak Prabu, terlihat jelas bahwa Bu Sundari merasa terpaksa menerima para peserta KKN, tapi tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai alasan Bu Sundari melakukan itu, dan kesimpulan sementaranya adalah sentimen yang bersifat personal, yang mungkin saja beranggapan masyarakat kota hanya akan merepotkan. Padahal menurut adat berbagai suku di Pulau Jawa, secara umum masyarakat pedesaan cenderung lebih ramah pada pendatang, terutama pada orang-orang yang berjanji membawa perubahan positif untuk desa seperti para peserta KKN. Terdapat istilah medhayoh yang dalam budaya Jawa berarti bertamu, namun maknanya tidak terbatas pada bertemunya satu fisik dengan fisik lain, melainkan bertemunya hati seorang saudara.

Contoh lain dari pola pikir tidak rasional dari masyarakat pedesaan digambarkan pada adegan Pak Prabu yang langsung membawa Ayu, Wahyu, dan Widya menghadap Mbah Buyut, seorang tetua desa sekaligus ahli supranatural, tepat setelah Widya mendapat gangguan hantu. Sama sekali tidak ada adegan pendalaman yang lebih masuk akal dari Pak Prabu, baik sebelum membawa mereka menghadap Mbah Buyut maupun setelahnya. Padahal dari cerita aslinya, Pak Prabu merupakan orang yang memiliki gelar sarjana pertanian, dalam kajian filsafat, terdapat beberapa istilah dari cara berpikir manusia, dua di antaranya adalah rasional dan natural. Rasional merupakan segala sesuatu yang bersifat masuk akal, berpatokan pada hukum alam dan data atau bukti yang juga melibatkan inovasi, sedangkan natural merupakan cara berpikir alamiah yang berpatokan pada suatu kerutinan atau mengikuti pola tanpa adanya inovasi. Perilaku Pak Prabu yang mengabaikan pendekatan rasional dan natural merupakan tanda keputusasaan, perilaku ini disebut dengan supranatural. Supranatural adalah cara berpikir orang-orang natural ketika berada pada posisi yang sudah tak lagi bisa menemukan cara dalam menyelesaikan suatu permasalahan, sehingga menyimpulkan dan bertindak dengan cara meminta bantuan pada benda dan makhluk gaib. Asumsi ini semakin kuat ketika melihat pada adegan lain, Mbah Buyut berubah menjadi seekor anjing hitam. Kemampuan Mbah Buyut sangat jelas di luar kapasitas manusia biasa, dan ini dapat menjadi indikasi dari adanya kerjasama dengan makhluk gaib.

Pengucilan peran pemikiran rasional masyarakat desa dapat pula dilihat dari percakapan Nur dengan Widya ketika hendak mandi di bilik mandi umum.

Widya:

Perasaan aku ga liat yang seumuran kita, Nur.

Nur:

Ya mungkin anak-anak mereka merantau.

Widya:

Yo moso ga ada yang tersisa sama sekali. Aneh.

Alih-alih pertanyaan Widya dilempar pada penduduk setempat yang lewat di depan mereka, cerita film ini lebih memilih Nur untuk berspekulasi menjawab, dan membiarkan pertanyaan tak terjawab sampai film selesai. Dalam keadaan ini, penduduk setempat tentu lebih berkompeten untuk menjawab. Asumsi saya, cerita film KKN di Desa Penari ingin menggiring jawaban pada kegiatan penumbalan yang sempat dilakukan oleh masyarakat desa. Asumsi ini dinilai kuat mengingat pada adegan lain terdapat penggambaran lokasi pemakaman yang ditutupi kain hitam sebagai makam dari anak-anak yang ditumbalkan oleh leluhur mereka. Jika asumsi ini benar, maka lagi-lagi, masyarakat desa dimasukkan dalam bingkai yang amat terbelakang karena sama sekali tidak menyisakan anak-anak atau remaja untuk regenerasi penduduk desa. Namun jika asumsi ini salah, itu sama sekali tidak melemahkan pendapat tentang adanya pegucilan peran pemikiran rasional masyarakat desa.

Pembuktian tak langsung

Di dunia matematika, terdapat cara dasar pembuktian tak langsung yang disebut reduction ad absurdum. Sebuah argumen akan terbukti sah saat konklusi dinegasikan dan kemudian menghasilkan kontradiksi. Menurut KBBI, negasi adalah penyangkalan atau peniadaan. Prinsip kerja reduction ad absurdum memanglah penyangkalan dan penyanggahan agar terhindar dari ketidakmutlakan, sebuah argumen tidak mungkin benar dan salah dalam waktu yang bersamaan. Semua yang telah disebutkan di atas merupakan analisis dengan objek latar tempat dan orang-orang yang tinggal di dalamnya, maka untuk menguji argumen, kita dapat mengadaptasi prinsip kerja reduction ad absurdum dengan melihat pada latar waktu cerita berlangsung, menyanggahnya secara mandiri dengan berpatokan pada keadaan yang berlaku: apakah terdapat kontradiksi yang akan menguatkan argumen atau justru terdapat keselarasan yang akan melemahkan argumen hingga pada akhirnya menganggap keterbelakangan masyarakat desa adalah kewajaran yang berlaku pada periode waktu tersebut.

Latar waktu film KKN di Desa Penari terjadi pada tahun 2009, dan jika berpatokan pada periode waktu, maka kita harus melihat pada konsistensi penggambaran yang linear terhadap fakta di tahun 2009.  Dalam film terdapat penggambaran desa yang belum dialiri listrik, padahal menurut mantan Menteri Pembangunan Daerah tertinggal (PDT), Ir. H. Muhammad Lukman Edy, M.Si (dalam 7.500 Desa di Indonesia Masih Belum Teraliri Listrik. Ugm.ac.id, 2009) ada 7.500 desa di seluruh wilayah Indonesia yang belum teraliri listrik PLN, sebagian besar wilayah tersebut berlokasi di pulau-pulau terpencil, pegunungan, dan hampir 60 persennya ada di kawasan timur Indonesia. Berpatokan pada pernyataan tersebut, dan mengingat lokasi desa yang dipastikan berada di Pulau Jawa, maka penggambaran desa yang belum dialiri listrik menjadi tidak wajar. Hal tersebut bisa disebabkan oleh adanya pengaburan latar cerita, terutama aspek latar waktu oleh penulis asli cerita KKN di Desa Penari. Dalam keterangannya, penulis atas nama akun Twitter @SimpleM81378523 sendiri mengakui telah mengaburkan latar cerita. Latar cerita merupakan gambaran situasi yang terjadi dalam sebuah karya sastra, latar cerita terdiri dari tempat, waktu, dan suasana. 


Gambar. 2. Pengakuan penulis asli KKN di Desa Penari tentang pengaburan latar waktu.

Sumber: Twitter.com/SimpleM81378523/status/1143116541480726531 (2019).

Adanya pengaburan latar waktu dikuatkan juga oleh penelusuran dari stasiun televisi swasta dan investigasi warganet yang mengasumsikan waktu sebenarnya dari cerita KKN di Desa Penari adalah tahun 1995 atau tahun 1998. Jika berpatokan pada tahun 1995 atau tahun 1998, keadaan desa tanpa listrik bisa saja benar-benar terjadi, mengingat pembangunan desa pada periode waktu tersebut belumlah merata, namun di sisi lainnya akan terdapat banyak kontradiksi antara penggambaran film dan keadaan yang berlaku di tahun 1995 atau 1998, mulai dari keberadaan motor Honda Supra X 125 yang diproduksi di atas tahun 2005, pompa air alkon yang sekilas seperti model yang diproduksi di atas tahun 2003, hingga kegiatan membeli enam bungkus cilok seharga Rp15.000. Maka demi keadilan, pengujian argumen ini dilakukan dengan mengikuti acuan latar waktu pada film yaitu tahun 2009, dan kontradiksi pertama yang ditemukan adalah desa yang belum dialiri listrik. 

Kontradiksi ke dua dapat dilihat pada penggambaran desa tanpa kloset yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya. Keberadaan kloset di Gedung Lawangsewu Semarang yang dibangun pada tahun 1902 dan adanya istilah jumbleng pada masyarakat Jawa dapat menjadi petunjuk dalam melihat kebiasaan sanitasi di waktu itu. Penggambaran masyarakat yang menggali tanah untuk buang hajat dinilai amat kontradiktif dengan keadaan di tahun 2009 (atau tahun 1995 atau tahun 1998) mengingat terdapat selisih waktu yang sangat lama dari pembangunan kloset di Gedung Lawangsewu Semarang yaitu 107 tahun.

Penemuan kontradiksi ke tiga terdapat pada penggambaran ketika motor yang ditumpangi Widya dan Wahyu mengalami mogok di tengah hutan. Secara mengejutkan, untuk pertama dan terakhir kalinya, Widya dan Wahyu mengeluarkan ponsel pintar berbasis android atau ios dari saku celana, lalu menyalakan lampu senter dari ponselnya masing-masing. Seperti sudah menjadi pengetahuan umum, tahun 2009 merupakan masa kejayaan ponsel Blackberry di Indonesia, dan kompetitor terkuat dari Blackberry adalah Apple yang merilis ponsel bertipe Iphone 3G. Teknologi dan fitur yang ditawarkan Iphone 3G tidak kalah menterengnya, namun pada tipe Iphone 3G sama sekali tidak terdapat fitur lampu senter. Penambahan fitur lampu senter dapat kita temukan pada Iphone 4 yang rilis pada tahun 2010. Penggambaran Widya dan Wahyu yang mengeluarkan ponsel pintar dinilai sangat kuat kontradiksinya, mengingat pada penggambaran lain dijelaskan bahwa Desa Penari belum dialiri listrik.

Efek dari Penggambaran Keterbelakangan Desa

Berpijak pada semua yang telah dijelaskan di atas, maka penggambaran citra desa beserta masyarakatnya yang terbelakang tidaklah relevan untuk ditampilkan dalam film KKN di Desa Penari. Selain terlalu dibuat-buat dan terdapat ketidakcocokan terhadap waktu, pencitraan desa yang selalu mistis, orang desa tidak logis, dan gaya hidup primitif sangat berpotensi melestarikan perasaan inferior masyarakat pedesaan, baik yang disebabkan oleh kesan, kepercayaan, dan sikap penonton dari kalangan pedesaan maupun perkotaan.

Ada banyak cara dalam menilai baik atau buruknya suatu hal, salah satunya dengan melihat pada efek yang telah dan berpotensi terjadi. Pelestarian perasaan inferior masyarakat pedesaan akan memberi konsekuensi berupa anggapan masyarakat perkotaan jauh lebih unggul dibanding masyarakat pedesaan, dan secara langsung akan berpengaruh terhadap pembenaran perilaku merendahkan masyarakat desa. Hal ini dapat dibuktikan dengan populernya istilah kampungan, orang desa, orang kampung, dan lain sejenisnya sebagai frasa negatif di kalangan masyarakat perkotaan. Dari sudut pandang masyarakat pedesaan, orang-orang desa akan terus terkurung sebagai pekerja kasar, selalu merasa tidak mampu dan tidak pantas dalam mengemban posisi yang lebih strategis. Efek terjauhnya adalah perlambatan pembangunan sumber daya manusia di pedesaan.

Dua sudut pandang di atas merupakan sebuah tanda, bahwa sesuatu yang kecil, yang terkadang tak disadari namun dipupuk dari generasi ke generasi, dapat mengantarkan banyak pihak pada kesengsaraan. Lantas, seberapa besar arti kecil itu?

Bandung, Mei 2023.


Postingan populer dari blog ini

Dear Jane - Percakapan Epsilon

Dear Jane - Satu (Dalam Dirimu)