Pelangi untuk Hujan


Hujan berjalan meninggalkan orang yang paling ia cintai. Ia tahu arti semua itu, ia akan menjalani semuanya sendirian. Tidak ada lagi telinga, tidak pula dengan kalimat tanya. Ia benar-benar berjalan dengan iringan suara di belakangnya. 

"Hujan, nanti aku akan mencarimu lagi setelah mendapatkan pelangi."

Hujan masih tak habis pikir dengan tingkah kekasihnya itu. Bila sudah ingin memberi, sedikit saja, kekasihnya pasti keras kepala. Tak bisa diberi tahu kalau selalu ingin membahagiakan terkadang bisa membahayakan.

"Hujan, nanti pelangi itu untukmu kok."

Kekasih hujan sebenarnya sangatlah manis, ia selalu ingin memberi apa yang belum hujan miliki, sebesar apapun resikonya, ia pasti akan mengambilnya. Tak ada yang lebih disukainya lagi selain bercerita tentang pengorbanan dan pencapaian sambil bersandar di bahu hujan.

"Hujan, aku janji, setelah kudapatkan pelangi, kita akan berpelukan lagi."

Cinta adalah duri yang tak pernah bisa digenggam seluruh bagiannya: bahagia dengan sebagian atau terluka karena ingin berlebihan.

Seribu langkah ke depan, seribu satuan waktu kemudian. Hujan telah lenyap ditelan bias cahaya yang terurai. Uraiannya laksana benang-benang sutra yang menyusun keindahan pada pelangi yang baru tiba. Kekasih hujan segera mengemas pelangi, dan berharap menikmatinya bersama hujan yang telah pergi.

Kekasih hujan menggeleng, matanya sayu seperti rembulan di musim kemarau, kering laksana gundukan tanah di pemakaman, di tempat hujan disemayamkan. Mendadak ia teringat pada kata-kata hujan di awal pertemuan.  

"Jika bumi diciptakan dari ledakan batu, maka hujan diciptakan dari waktu yang beradu, antara masa depan maupun waktu yang telah berlalu."

Dalam hujan, semua orang bisa pulang.menuju harapan atau justru kembali pada kenangan.

Bandung, Agustus 2020. 


Postingan populer dari blog ini

Dear Jane - Percakapan Epsilon

Kritik Film KKN di Desa Penari: Melestarikan Inferioritas Masyarakat Desa

Dear Jane - Satu (Dalam Dirimu)