Perilaku Menyontek dan Angka Bunuh Diri di Indonesia
Bunuh diri merupakan masalah besar yang terjadi di berbagai belahan dunia, bahkan Internasional Association of Suicide Prevention (IASP) memprediksi pada tahun 2020 di setiap 20 detik akan ada 1 orang yang tewas akibat bunuh diri. Angka yang sangat mengkhawatirkan, terlebih belakangan ini kasus bunuh diri sudah bukan menjadi hal yang luar biasa di Indonesia. Menurut penelitian World Health Organization (WHO) pada tahun 2016, dan dengan sedikit penyempurnaan pada tahun 2018, Indonesia menempati posisi ke 159 dalam hal kasus bunuh diri. Rinciannya, dalam satu tahun, dari 100.000 orang terdapat 3,7 orang yang melakukan aksi bunuh diri. Angka tersebut belum termasuk tingkat percobaan bunuh diri yang gagal, dan ide-ide bunuh diri yang urung dilaksanakan.
Tentu ada banyak kemungkinan dari alasan seseorang mengakhiri hidup, tapi inti dari semua alasan itu adalah rasa tidak percaya diri dalam mencari solusi atas permasalahan yang sedang dihadapi, dan suka ataupun tidak, hal tersebut memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan program wajib belajar.
Seperti kita ketahui, secara umum
program wajib belajar mengharuskan kita duduk di bangku sekolah, dan pada
hakikatnya, semua jenjang pendidikan memiliki pola yang sama yaitu belajar
terlebih dahulu, lalu di akhir semester akan diadakan ujian yang harus
dikerjakan. Jika gagal dalam ujian, maka kita harus bertanggung jawab, baik
dengan sistem ujian perbaikan ataupun tidak diperkenankan melanjutkan
pendidikan ke tingkat selanjutnya.
Secara alam bawah sadar, sejak duduk
di bangku sekolah dasar kita memang dididik untuk menghadapi masalah, kita
dididik untuk bertanggung jawab, dan lebih jauhnya lagi, kita telah dibiasakan
untuk memahami pola kehidupan bahwa permasalahan selalu datang ketika kita
berada di ujung proses pembelajaran, ketika kita sebenarnya telah mengantongi
jawaban, maka konsekuensi paling logis dari mengikuti program wajib belajar
adalah tidak ada lagi kasus bunuh diri karena merasa akan gagal dalam
memecahkan suatu persoalan.
Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan
masih ada pihak-pihak yang sengaja mengacaukan esensi dari program pemerintah
tersebut. Salah satunya dengan membiarkan praktik menyontek ketika ujian di
sekolah. Hal itu bisa dibuktikan dengan selalu adanya cerita tersembunyi di
setiap penyelenggaraan Ujian Nasional (sekarang lebih dikenal dengan UNBK).
Padahal tindakan seperti itu sama dengan membiarkan siswa tidak bertanggung
jawab terhadap perilaku selama proses pendidikan, membiarkan siswa hidup dalam
sudut pandang pesimis terhadap kemampuan, dan bahkan membiarkan siswa
menafsirkan praktik korupsi kecil sebagai jalan keluar.
Apabila fenomena pembiaran tersebut dinaikkan
secara kontras untuk melihat kemungkinan efek yang ditimbulkan secara lebih jauh, maka
membiarkan praktik menyontek merupakan sebuah tindak kejahatan kemanusiaan
karena melahirkan potensi penafsiran yang salah terhadap solusi kehidupan. Efek
paling radikalnya adalah orang-orang tidak akan siap bertanggung jawab atas
kesalahan yang dilakukan, dan terbiasa mencari jalan keluar yang paling mudah,
salah satunya dengan cara bunuh diri.
Tanpa bermaksud menyinggung
siapapun, terutama pada pihak keluarga yang pernah atau masih berduka,
sebenarnya kita masih bisa meminimalisir potensi bunuh diri dari hal-hal yang
kecil. Membiasakan anak untuk jujur dan bertanggung jawab, khususnya dalam
kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan di sekolah seperti mengerjakan tugas,
belajar setiap malam, dan tidak terlalu melemparkan tugas pengawasan kepada
lembaga-lembaga bimbingan belajar. Orangtua harus berperan aktif mendampingi.
Selain itu, alangkah lebih bijaksana untuk menyerahkan mandat penuh kepada guru
dalam mendidik anak ketika di sekolah. Jangan ada lagi kegaduhan pertikaian
antara orangtua dengan guru. Kalaupun ada kemarahan, bahkan cubitan yang
dilakukan oleh guru, maka kelak itu akan berguna bagi anak, selama setiap
cubitan dan kemarahan bisa membawa anak ke arah yang lebih baik.
Dalam rangka menekan angka bunuh
diri di Indonesia, memang diperlukan upaya bersama dan menyeluruh dari berbagai
pihak. Selain peran orangtua, pihak sekolah pun harus memberi andil yang cukup
besar, caranya dengan melakukan pengawasan lebih selama proses persiapan ujian,
dan tidak menoleransi setiap bentuk kecurangan. Jangan terlalu mengejar
eksistensi kalau sekiranya mengganggu esensi pendidikan. Buang jauh-jauh
tingkat reputasi, sekolah adalah ladang budi pekerti dan pengetahuan, bukan
reputasi yang melulu soal uang. Dengan sendirinya, sistem yang teratur dan
jujur akan melahirkan reputasi baik.
Pihak pemerintah pun harus melakukan
pengawasan yang jauh lebih mendetail dan utuh. Sebagai permisalan, pemerintah sebaiknya
berhenti membuat turunnya angka kecurangan sebagai sebuah prestasi, jangan
sekedar itu, tapi dengan cara mendeklarasi target menghilangkan angka kecurangan.
Hal tersebut akan menekan banyak pihak untuk berpikir dua kali dalam membuat
kecurangan, dan itu akan sejalan dengan tingkat tanggung jawab siswa terhadap
perilakunya sendiri. Bila perlu, sebaiknya diadakan hukuman bagi siswa yang
tertangkap basah melakukan kecurangan, dan hukuman pidana bagi pihak-pihak yang
sengaja melakukan pembiaran.
Sumedang, Maret 2018.