Anak Cahaya
Ia
menggoyangkan kakinya pelan, seperti daun yang melayang sebelum menyentuh
tanah.
“Ayah,”
suaranya seperti gemericik air yang jatuh di celah batu. “Aku ini anak siapa?”
Aku
menoleh, tapi kata-kata tercekat di tenggorokanku.
Langit
di atas semakin biru, seakan pertanyaan itu telah merobek sisa cahaya dan
menumpahkannya ke dalam laut gelap.
Aku
tidak menjawab.
Anak
itu menatapku, matanya seperti bulan yang menggantung di langit hening—tidak
menuntut, tidak menekan, hanya menunggu. Tapi di balik ketenangan itu, aku bisa
merasakan pusaran angin yang perlahan tumbuh, menyapu lembah, menggetarkan
dahan-dahan pohon, menyingkap sesuatu yang telah lama kukubur di bawah
akar-akar sunyi.
Aku
menarik napas.
Di
kejauhan, kabut mulai turun dari pegunungan, mengalir seperti sungai yang
mencari jalannya sendiri. Aku selalu menyukai kabut—ia menyembunyikan, ia
melindungi. Tapi malam ini, aku tahu, ia tidak datang untuk itu.
“Ayah?”
Suara
anak itu mengingatkanku pada hujan yang mengetuk jendela di malam-malam yang
jauh.
Aku
tetap diam.
Ia
menunduk, memainkan ujung bajunya, seolah sedang menunggu jawabanku jatuh dari
langit seperti embun pagi.
Di
dalam dadaku, ribuan musim berputar. Aku ingin berbicara, tapi lidahku terasa
seperti batu yang terbenam di dasar sungai. Kata-kata yang ingin kuucapkan
telah tenggelam sejak lama, tertutup oleh arus waktu yang terus mengalir tanpa
henti.
***
Epsilon
waktu bereselang.
Aku
berdiri di tengah padang rumput luas, di mana bunga-bunga liar tumbuh tanpa
takut pada angin. Langit di atas berwarna biru pucat, seperti lembaran kertas
kosong yang menunggu tinta. Di tengah padang itu, seorang perempuan berdiri
membelakangiku, gaunnya melayang pelan seperti kabut yang turun ke lembah.
Aku
mengenalnya. Aku selalu mengenalnya.
Jane
menoleh, dan senyumnya seperti matahari yang menyelinap di antara pepohonan.
“Apa
yang kamu lakukan di sini?” tanyanya, suaranya serupa angin yang berbisik di
ujung dahan.
Aku
menelan ludah. "Jane, aku tidak tahu.”
“Benar-benar
tidak tahu?” Jane tertawa pelan.
Aku
menggeleng. Tapi nampaknya angin tahu. Angin selalu tahu, lalu membisikkan
sesuatu pada telinga Jane.
Jane
melangkah mendekat, dan di antara langkahnya, rumput membentuk jejak-jejak kecil,
seperti sungai yang baru lahir. “Ada yang bertanya padamu."
Aku
mengangguk.
“Dan
kamu memilih diam.”
Aku
kembali mengangguk.
“Kamu
takut?” Jane sekilas menghela napas, menatap cakrawala yang samar.
Aku
ingin mengatakan tidak, tapi angin di padang ini tidak mengizinkan kebohongan.
Aku
diam.
“Kamu
selalu takut pada hal-hal yang seharusnya indah.” Jane tersenyum tipis.
“Bagaimana
aku bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan tidak bisa kupegang lagi?” Aku
mengalihkan pandangan, menatap langit yang terasa semakin jauh.
“Di
saat dunia tak lagi bisa memberi jawaban, kamu hanya perlu membiarkannya
tumbuh.” Jane mengangkat tangannya, membiarkan angin memainkan ujung jarinya.
Aku
mengerutkan kening. “Apa maksudmu, Jane?”
Jane
berbalik, melangkah mundur, lalu menunjuk ke langit.
Aku
mengikuti arah tangan Jane.
Di
sana, di antara awan yang perlahan bergerak, ada sebatang pohon. Ia berdiri di
tengah udara, akarnya menggantung tanpa menyentuh tanah, dahan-dahannya
menjulur ke segala arah, seperti ingin meraih sesuatu yang tak terlihat.
“Itu…”
Aku menahan napas.
“Pohon
itu selalu ada di sana,” katanya pelan. “Hanya saja, kamu tidak pernah berani
menatapnya.”
Aku
menatapnya lama, lalu menggeleng. “Bagaimana bisa sesuatu tumbuh tanpa akar?”
Jane
tertawa, kali ini suaranya seperti riak kecil di tepi danau yang tenang dan
dalam.
“Kau
masih belum mengerti, ya?” Tanya Jane.
Aku
menatapnya, meminta penjelasan tanpa berkata apa-apa.
Jane
tersenyum, lalu berjalan menjauh. “Sampai jumpa.”
Aku
ingin mengejarnya, tapi sebelum aku bisa melangkah, kabut naik dari tanah dan
menelanku bulat-bulat.
***
Aku
masih duduk di teras. Anak itu masih di sampingku, masih menggoyangkan kakinya,
masih menunggu jawaban yang tidak pernah disiapkan.
Aku
menatap langit. Awan telah bergeser, menyisakan celah kecil tempat cahaya bulan
jatuh ke bumi.
Aku
menoleh pada anak itu, tapi kata-kata masih belum menemukan jalannya keluar. Jadi
aku melakukan satu hal yang bisa kulakukan. Aku mengangkat tanganku,
meletakkannya di kepalanya, dan mengusap rambutnya perlahan.
"Ayah,
aku ini anak siapa?" Suaranya seperti air terjun yang jatuh dari tebing
tinggi—indah, tapi penuh tekanan yang dapat menghancurkan batu.
"Kamu
adalah anak yang lahir dari langit yang terbelah."
Dia
mengerutkan kening. "Apa maksudnya?"
"Suatu
hari langit terbuka, dan kau jatuh ke dalam hidupku seperti cahaya bulan
itu." Aku menunjuk pada celah awan yang di antaranya terdapat cahaya
bulan.
Dia
menatapku dengan mata yang tidak berkedip. "Jadi, aku bukan anak
ayah?"
"Kamu
lebih dari sekedar itu, nak, kamu adalah sesuatu yang terus tumbuh."
Anak
itu terdiam lama, seolah sedang menimbang kata-kataku di dalam pikirannya yang
masih terlalu muda dan sederhana.
Tapi
akhirnya dia tersenyum, dan langit yang tadi terbelah mulai menyatu kembali.
Anak itu menatapku lalu berkata sesuatu.
"Jadi
aku itu cahaya yang ayah cari."
Jakarta, 29 Juni 2025